[CERPEN] Mimpi Tak Semanis Gulali - Keza Felice
News Update
Loading...

Jumat, 12 November 2021

[CERPEN] Mimpi Tak Semanis Gulali

 



 

Tanganku menggenggam segumpal nyawa yang kutarik keluar dari dalam jiwa, lalu kuletakkan di atas kain putih yang baru saja selesai dijahit oleh Ibu. Kemudian, aku membungkusnya dengan rapi dan mengikatnya menggunakan pita besar dan memasukkannya ke laci nakas. Segumpal nyawa itu sudah tidak tampak oleh mataku lagi setelah laci tersebut tertutup.


Aku melangkah gontai menuju meja belajar, nyaris saja kubuang semua benda yang terletak di meja. Aku muak melihat semua hal yang berkaitan dengan menulis. Ingin rasanya kulempar ke  luar jendela semua benda itu: laptop, ponsel, buku, sticky notes, dan pulpen. Sayangnya tanganku seperti kehabisan tenaga ketika sudah berada tepat di hadapan benda-benda itu.

“Bagaimana aku bisa mengembalikan segumpal nyawa itu sekarang?” Baru saja beberapa menit, tetapi jiwaku sudah terasa kosong.

Aku memang hanya tahu cara mengeluarkan tapi tidak tahu cara mengembalikannya lagi—mungkin hanya belum tahu. Padahal aku baru saja menariknya beberapa saat yang lalu. Apakah aku sudah mulai mati rasa? Apakah usahaku berhasil?

Aku menepuk dada berulang kali, pelan, kurasakan sesaknya semakin dalam, lalu air mata tumpah dari peristirahatan sementaranya di ujung pelupuk. “Aku menangis lagi? Ini sudah yang ke berapa kali?” tanyaku sembari mengelap pipi yang basah.

Jiwaku semakin terasa hampa setelah ditinggal segumpal nyawa itu keluar. Aku memutuskan meninggalkan kamar untuk mencari udara segar, barangkali udara di kamar memang berisi beban yang membuat hidup terasa suntuk. Tidak tahu pasti, ini hanya pemikiran konyolku saja.

Lagi-lagi pikiranku terbayang ekspresi orang-orang yang bahkan tidak pernah kulihat wajahnya. Imajinasiku berhasil menggambarkan raut wajah mereka dengan sempurna, bahkan bagaimana mereka menggelegarkan tawa, aku melihatnya dengan jelas. Mereka, salah satunya yang mengenakan pakaian berwarna merah marun, tertawa cekikikan seperti kuntilanak dan menepuk sedikit agak kuat pada bahu temannya. Dia berkata, “Cewek bernama Gulali itu lugu atau memang bodoh?”

Lantas teman yang satunya lagi, yang mengenakan kaos oblong warna ungu mencolok menimpali, “Mungkin dia memang tidak tahu, jangan diketawain terus-terusan.”

Aku tersenyum masam ketika membayangkan dia mengatakan hal itu. Apakah dia sedang membelaku? Begitulah yang kupertanyakan dalam pikiran, tetapi hal tersebut terpatahkan. Dia kembali melanjutkan perkataannya tanpa ragu-ragu.

“Maksudku, jangan cuma diketawain, tapi tegur aja di kolom komentar siarannya, biar sekalian kehabisan napas.”

Aku meremas ujung pakaian, lalu kembali menepuk-nepuk dada sambil mengembuskan napas melalui mulut. “Sakitnya, Tuhan! Kenapa harus begini?” Aku bertanya pada angin karena tahu Tuhan tidak akan langsung memberiku kemampuan untuk menelaah jawaban yang Dia berikan.

Kini kakiku terasa berat untuk diangkat, maka kuputuskan untuk bergeming sejenak di bawah pohon akasia. Kutatap daun-daun yang berlubang dimakan ulat. Jika saja dedaunan ini bisa berbicara, apakah dia akan mengeluh karena kepunyaannya hampir habis digerogoti hewan bertubuh gemuk itu? Atau dia akan berbicara dengan gembira karena telah berguna untuk sesama ciptaan Tuhan?

Mendadak isi pikiranku menjadi absurd, bahkan benang kusut saja tidak seburuk pikiranku. Mungkin ini akibatnya saat berjauhan dari segumpal nyawa yang telah kukeluarkan. Rasanya tubuhku seperti kehilangan fungsinya.

Aku beranjak dari dekapan pohon akasia tanpa mendengar cuitan dedaunan yang berlubang, ya, aku memang tidak akan pernah mendengar mereka berbicara. Karena itulah kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan daripada kembali ke rumah sebelum menemukan titik terang.

Sebenarnya aku sendiri tidak tahu mau pergi ke mana. Tetapi, pernah kudengar dari omongan tetangga yang rajin menggunjing saat membeli sayuran di warung Mang Udin, mereka mengeluhkan kebersihan taman di ujung kompleks. Katanya, taman itu sudah banyak sampah yang berserakan padahal baru saja dibuka dua minggu yang lalu. Miris! Tapi bukankah lebih miris diriku ini yang bahkan tidak tahu bahwa di kompleks ada taman? Aku terlalu sibuk mengurus duniaku, tapi aku pula yang sekarang tercampakkan.

Aku kembali berjalan dan melupakan gunjingan tetangga yang pernah juga membahas status sarjanaku. Mereka cuma bilang kalau semestinya seorang sarjana itu punya pekerjaan yang mapan, gaji bulanan berjuta-juta, dan punya pacar yang berwibawa—dalam hal ini ber-wiii-bawa mobil, wiii-bawa uang banyak, wiii-bawa oleh-oleh mahal—mereka menekan pada kata ‘wi’ dari ‘wibawa’ hanya untuk mengejek.

 “Hai, Cewek,” tegur seorang lelaki yang baru saja berjalan sejajar denganku.

Aku menoleh dan menatapnya tanpa membalas sapaan darinya. Dia itu Kenan, aku sudah mengenalnya sejak SD, tapi kami tidak pernah dekat karena dia selalu mengejekku. Katanya, aku ini dekil, pendek, pesek, dan berkulit cokelat gelap. Namun, aku selalu tidak peduli kepada hinaan yang lebih sering dijadikan banyolan oleh teman-teman.

“Gulali, kan? Atau aku sudah salah menduga?”

Aku menghentikan langkah. “Tau dari mana kalau aku pakai nama Gulali?”

“Aku stalking media sosialmu. Terus nggak sengaja nemu tulisan Gulali di pojok kanan gambar yang kamu edit,” jawabannya jujur. “Tapi aku nggak macem-macem, kok. Cuma cari tahu aja Gulali itu siapa dan ngapain kata itu ada di posting­-an kamu.”

“Sekarang kamu udah tahu, kan? Jadi mau apa lagi?”

Kenan beranjak dan berdiri tepat di depanku. “Nggak usah pura-pura galak. Aku tahu apa yang lagi kamu pikirkan, apa yang lagi jadi bergolakan batinmu.”

“Nggak usah sok tahu!” Aku menjawab dengan tegas, lalu menghindarinya dan berjalan menuju taman seperti rencana awal.

Kenan tidak banyak bicara, dia hanya diam, tapi aku tahu lelaki berkumis tipis itu mengikuti ke taman. Saat seperti ini rasanya aku ingin kembali menumpahkan air mata. Dadaku terasa sesak, terlebih karena telinga kiriku berdenging. Kata orang, bila telinga kiri yang berdenging, itu artinya ada orang lain yang sedang menggibahi kita. Aku takut, aku tidak berani menunjukkan diri lagi. Rasanya, aku ingin lenyap dari dunia ini.

*****

Ini tidak terlalu buruk berada di taman pada jam menjelang siang. Dua jam lebih berada di taman ini, kami tidak saling bicara. Kenan tidak melakukan banyak hal selain menarik rumput liar yang terjangkau oleh tangannya, lalu memotongnya dan melemparkan ke udara. Begitu seterusnya sampai tangannya terasa kebas, mungkin.

 “Kamu malu? Atau nggak menerima kesalahan?” Tiba-tiba Kenan bertanya sambil menyenggol lenganku.

“Apa maksudmu?”

“Kamu begini karena dua minggu yang lalu ada inseden salah sebut nama dalam bahasa Inggris, kan?”

Aku menunduk karena merasa semakin tidak berguna.

“Aku sudah menelusuri platform itu, bahkan dengan telaten aku baca satu per satu komentar mereka di posting-an terakhirmu. Aku bahkan sampai tanya Kania. Sepertinya dia teman dekatmu di sana, dan dia menceritakan semuanya.”

Aku mengangguk, lalu menunduk. “Apa manusia itu gak boleh melakukan kesalahan? Aku sadar kalau memang salah. Aku sudah mengakuinya dan meminta maaf kepada mereka, kepada pendengar rekaman siaran. Tapi apa yang mereka lakukan? Mereka menghinaku, mengatakan bahwa aku ini memalukan, dan kata mereka aku itu bodoh. Mereka menjadikanku bahan tertawaan. Apa sebuah kesalahan itu layak menjadi lelucon?

“Hanya karena aku salah menyebutkan nama Michael dalam bahasa Inggris, lalu sekarang aku dihina habis-habisan seolah-olah selama ini aku nggak pernah melakukan kebaikan.”

“Nggak semua orang mengerti apa yang kamu mau. Dan nggak semua keinginan bisa terwujud segampang yang kamu bayangkan. Manusia nggak ada yang sempurna, Key,” sahutnya. “Keyra yang aku kenal nggak mudah down begini. Aku yakin kamu pasti bisa membuktikan pada mereka siapa dirimu sebenarnya. Gulali itu manis, dan kamu harus membuat hidupmu terasa manis tanpa teman-teman yang merugikan.”

“Terima kasih, Kenan. Aku akan memikirkannya lagi.” Aku menoleh ke arah Kenan, lalu beranjak meninggalkannya di bangku taman.

Aku kembali ke rumah dengan perasaan yang masih sama, tidak ada ketenangan, tidak pula dengan gambaran jalan keluar. Akan tetapi aku punya sedikit keberanian untuk melalui semua ini.

 Aku memang merasa tak layak berada di antara mereka—yang cerdas, yang bertalenta, dan yang berprestasi. Aku hanya pemula yang langsung menyodorkan diri untuk menjadi bulan-bulanan mereka, supaya mereka betah berlama-lama ngobrol dengan teman-teman lainnya. Tetapi apakah sedikit keberanianku ini tidak akan membuat mereka menguliti sisa-sisa keteguhan yang kumiliki?

Padahal, dua minggu yang lalu aku hanya berusaha keluar dari zona nyaman yang kata banyak orang sih  memang penuh tantangan. Aku mengalahkan rasa malu demi menggunakan suara cempreng ini untuk mengisi program siara di platfrom Z—tempat menulis terbaru yang sedang viral. Tetapi satu kesalahanku ternyata tidak termaafkan oleh mereka. Aku merasa hancur ketika mereka mulai menelanjangi kesalahanku hingga akhirnya aku tidak berani membuka platform menulis itu lagi.

Ternyata yang paling keras di dunia ini bukanlah kota-kota padat penduduk dengan bangunan-bangunan besar yang menjulang tinggi—yang menjadi tempat perantauan, melainkan mulut orang-orang yang menganggap dirinya berkuasa, yang menjadikan manusia lainnya sebagai daging yang siap disantap dan dimuntahkan lagi bila cita rasanya tak sedap di lidah mereka.

*****

Malam ini aku kembali membuka laci nakas, ingin mengambil segumpal nyawa yang baru tadi pagi kuletakkan di sana. Aku merasa kosong dan tidak tahu hendak melakukan apa. Yang kulakukan selama lebih dari satu jam hanya memandang kain putih yang terikat pita di dalam laci.

Kain putih ini mengingatkanku kepada Ibu. Beliau sudah berpesan agar aku menjaganya agar tetap bersih sehingga suatu saat nanti aku dapat menggunakannya sebagai mahkota. Namun, aku baru boleh menggunakannya bila mimpiku sudah tercapai, setelah pendidikanku juga terselesaikan.

Sayangnya kini aku telah menggunakan kain tersebut, untuk meletakkan segumpal nyawa yang berharga dalam kehidupanku. Nyawa yang telah kumiliki sejak duduk di bangku sekolah dasar.

Ketika teman-teman asyik bermain, aku hanya sibuk menata sedikit demi sedikit nyawa itu. Aku menganggapnya mustahil terkumpul dan bisa kugenggam seutuhnya. Hingga pada akhirnya Tuhan memberiku jalan tepat di usia yang sudah memasuki kepala dua. Aku menemukan rumah untuk menyimpan dan mengembangkan nyawa itu. Akan tetapi insiden memalukan itu malah menjadi kerikil yang menendangku keluar dari peredaran mereka, yang sudah hebat dan berbakat. Lalu, haruskah aku membuang segumpal nyawa yang baru saja kusimpan dalam laci ini?

“Key, buka jendelanya.” Suara ketukan di jendela terdengar bersamaan dengan suara Kenan. Aku buru-buru menutup laci, lalu membuka jendela dengan pelan.

“Ngapain malam-malam kamu ke sini kayak maling?” tanyaku bisik-bisik.

Kenan hanya tertawa kecil sambil menunjukkan ponselnya kepadaku. “Aku udah buatin blog buat kamu. Kamu nulis di sini aja buat batu loncatan,” ucapnya dengan binar terang di matanya.

“Serius kamu bikinin aku blog?”

Kenan mengangguk, lalu melongok ke kamar. “Nggak mau di suruh masuk?”

“Ini sudah malam, Ken. Lagian ngapain nggak nunggu besok aja?”

“Aku udah nggak sabar pengin liat kamu ceria dan semangat lagi. Inget, Key, kamu itu punya kelebihan yang tersembunyi, yang tidak semua orang miliki. Aku tahu, kamu punya semangat yang tumpah-tumpah. Jadi, ini adalah hadiah buatmu supaya kamu bisa berdiri tegak lagi,” jelasnya sembari tersenyum.

Aku terharu mendengar perkataan Kenan. Kemudian, aku meraih ponsel yang dia berikan untuk melihat bagaimana blog yang dia buatkan. Jujur saja, ini adalah kali pertama aku menyentuh dunia literasi. Mata hati dan pikiranku memang masih buta, tapi bukan berarti aku tidak mau melek terhadap perkembangan zaman. Sayangnya, lagi-lagi aku masih tidak mampu beranjak dengan cepat saat ingat kesalahan itu.

“Terima kasih, Ken, besok kita obrolkan lagi. Siapin tenaga untuk ngajarin aku, ya?”

Kenan mengangguk sembari berkata, “Siap, akan aku pastikan kamu bisa mengalahkan mereka. Kita lihat siapa yang paling kuat bertahan di dunia literasi ini, kamu atau mereka.”

Setelah mengatakan itu Kenan langsung izin bertolak untuk pulang. Aku pun mempersilakannya, lalu kembali kututup jendela kamar dengan hati-hati.

Hatiku sungguh seperti tersiram air hangat hingga desirnya terasa ke seluruh tubuh. Air mataku tumpah seketika. Tuhan memberiku jalan yang baru, yang tidak kumengerti, tapi bisa kujelajahi dengan perlahan.

*****

Sebelum tidur, aku memberanikan diri untuk membuka platform Z untuk mencari tahu apakah mereka masih mencaci makiku atau tidak. Dengan sedikit keberanian dan ketenangan yang sudah mulai terkumpul sejak kedatangan Kenan, aku pun membuka kolom komentar pada posting-an cerpen terakhir yang sempat di-upload sebelum menghilang tanpa jejak.

@Kania: Gulali nggak muncul dua minggu, woy! Ini gara-gara komentar kalian sih!

@Hasya: Bukan salah yang komentar dong, salah sendiri cuma ngucapin nama Michael aja nggak bisa, lolanya nggak ketulungan, cih!

@Dinar: Dia hengkang dari dunia literasi juga nggak masalah buat aku. Nggak ada urusan, di dunia ini tuh semua serba keras. Mana ada yang bisa sejalan dengan pikirannya.

@Kania: Apa pun alasan kalian, itu nggak dibenarkan. Gulali juga punya perasaan, dia juga bisa down.

 

Cukup! Aku tidak berani lagi membaca kelanjutan komentar-komentar mereka. Aku menutup kembali platform Z itu, lalu kembali menangis. “Haruskah aku menangis lagi?” tanyaku pada diri sendiri.

Sungguh, kesalahanku memang sepele sekali. Tapi mengapa mereka sampai membenciku hingga separah ini? Apa menjadi pemula itu selalu ditempa dengan hal semacam ini?

Aku merasa cemas dan tidak layak untuk kembali menatap dunia. Tapi aku punya segumpal nyawa yang setiap detiknya semakin melemah. Apabila aku tidak segera menyelamatkannya dan bangkit dari keterpurukan ini, mungkin dia bisa lenyap, dan aku hanya bisa memeluk kenangan.

Aku merasa hampir kehabisan napas bila mengingat wajah-wajah itu menertawakanku. Bagaimana bisa mereka yang sudah memiliki kemampuan dan perstasi yang lebih banyak dariku malah melakukan hal ini? Mereka sama sekali tidak mencerminkan sikap yang patut dicontoh. Sayangnya sikap yang seperti itu malah banyak digemari dan punya banyak pendukung. Semestinya aku tidak merasa rendah seperti ini, kan, Tuhan? Mungkin yang Kenan katakan memang ada benarnya, aku harus bisa membuktikan kepada mereka bahwa bertahan di dunia literasi ini bukan hal yang sulit. Tapi, bagaimana caranya agar aku bisa memberikan bukti itu? Sekarang saja aku tidak tahu mau melakukan apa ….

***

Tak seperti biasanya, pagi ini aku lebih bersemangat karena ingat janji Kenan untuk mengajariku menggunakan blog. Aku melangkah keluar kamar, menemui Ibu yang masih menata sarapan dan Ayah yang tengah membaca koran. Kemudian, kami menyelesaikan sarapan tanpa membicarakan apa pun, seperti biasanya saja; makan, lalu sibuk masing-masing. Keluargaku ini ‘dingin’ tapi tetap peduli bila salah satunya tampak tidak baik-baik saja. Karena itulah aku berusaha terlihat tegar di hadapan mereka.

“Bu, Keyra mau ke taman dulu, ya?” pamitku.

“Hati-hati, Key,” pesannya, lalu aku pun mengangguk.

Aku berjalan pelan sambil menahan debaran dalam dada. Ada rasa yang aneh di sana dan kurasa ini adalah kali pertama kumiliki desir yang berbeda ketika mengingat Kenan.

“Key, ngelamunin apa?”

Aku terperanjat ketika bahuku disentuh seseorang. “Eh, nggak mikirin apa pun, kok,” jawabku malu-malu.

“Sudah aktifin media sosial lagi belum? Kamu nggak buka WhatsApp, Instagram, dan Facebook, ya? Atau nama akunnya diganti?”

Aku tersenyum masam. “Aku ganti nama akun dan nggak buka media sosial selama dua minggu. Nggak berani, masih malu. Takut mereka juga nyari media sosialku dan mencaci maki di sana, bisa tamat aku.”

“Dasar! Kamu itu sulit juga dibuat sendiri.”

Aku hanya diam karena tidak mengerti maksud Kenan. Kami berjalan ke taman sambil ngobrol yang ringan-ringan saja, temanya tidak jauh dari literasi juga.

“Kamu itu pernah mikir nggak sih kalau yang mengalami hal seperti ini bukan cuma dirimu aja?”

Aku menggeleng. “Mana aku mikirin itu, mikir diriku sendiri aja udah berat.”

“Key, dengerin aku …,” pintanya sambil menarik telapak tanganku. “Hampir semua orang pernah mengalami kegagalan, Key. Bahkan banyak di antara mereka yang tersandung saat berusaha mewujudkan impian dan tujuan hidupnya.”

“Lalu apa hubungannya sama aku?” tanyaku polos.

“Dasar anak kecil!” ledek Kenan sambil menarik hidungku.

“Sakit, Ken …,” keluhku. “Jadi apa lanjutannya?”

Kenan tidak langsung menjawab, dia hanya menggerakkan bibirnya ke atas. Lengkungan tipis itu begitu memesona.

“Maksudku … apa yang kamu rasakan ini mungkin saja pernah dirasakan oleh orang lain. Hanya saja kita tidak tahu siapa saja mereka itu. Aku yakin kok, Key, orang-orang sukses di luar sana itu juga pernah mengalami yang namanya kegagalan, keterpurukan, merasa hampir kehabisan cara untuk mencapai impian, dan berada di titik terendah.

“Bedanya, mereka itu sigap dan siap menerima serta menjalaninya. Nggak kayak kamu yang malah memanjakan keterpurukan. Baru juga kena nyinyiran gitu, eh malah nggak mau bangkit lagi. Haduh, Key, mau dikemanain impian masa kecilmu itu?”

Aku bungkam mendengar omongan Kenan. Apa yang dia katakan banyak benarnya. “Ken, terus gimana?” tanyaku lagi.

Kamu sudah sampai di taman dan memilih untuk duduk di bawah pohon palem sambil meluruskan kaki.

Kenan menatapku sambil mengangkat sebelah alisnya. “Kamu mungkin lupa satu hal, Key. Orang-orang yang sekarang sudah sukses itu tidak semua memiliki perjalanan yang mulus, bahkan banyak dari mereka itu berasal dari orang-orang biasa. Selama ini kamu hanya melihat mereka yang sudah sukses, tapi kamu tidak pernah menggali bagaimana langkah mereka saat melakukan proses.

“Melihat kesuksesan orang itu memang gampang, Key. Kamu bahkan menjadikan mereka sebagai idola, menganggap mereka itu sempurna. Tapi kamu sendiri nggak pernah tahu dan mencari tahu bagaimana saja hambatan yang mereka miliki untuk mencapai tangga tertinggi seperti saat ini. Iya, kan?”

Aku benar-benar kehabisan kata-kata mendengar semua yang Kenan katakan. Dia sungguh menyiapkan banyak amunisi untuk mencuci otakku yang hampir kehabisan daya ini.

“Kamu bener, Ken. Aku nggak pernah mikir ke situ. Aku cuma tahu mereka itu sukses dan hebat. Dan aku lupa kalau mereka juga melalui banyak proses untuk menjadi sekokoh sekarang.”

Kenan tertawa pelan. “Gitu dong, coba aja sadar dari dua minggu yang lalu, pasti sekarang kamu udah ada perkembangan.”

“Semestinya sih gitu. Namanya aja malu, aku itu insecure woy!” bentakku sambil tertawa garing.

“Ayolah, Gulali itu nggak selemah ini. Inget, ya, mimpimu itu cuma bakal jadi uap kalau kamu nggak berusaha mewujudkannya. Dia hanya akan menjadi tapak-tapak luka dan kenangan tanpa pernah mendapatkan perlakuan istimewa dari pemiliknya. Apa kamu tega semua impianmu itu menangis di langit  gara-gara kamu malu sama kesalahanmu sendiri?”

Tuntas sudah aku diberondong wejangan oleh Kenan. Bagaimanapun juga semua yang dia katakan selalu tepat dan berhasil menamparku. “Seharusnya—”

“Seharusnya kamu berusaha mewujudkan impian itu, jadilah penulis seperti yang kamu harapkan. Jadilah apa adanya dirimu, akui kesalahanmu, tapi jadikan hal itu sebagai pelajaran. Kalau kamu merasa bodoh, ya perbanyak saja belajar. Kalau kamu sudah pandai, jangan sampai lengah. Terus berjalan, Key, karena Tuhan sudah menyiapkan banyak kejutan di depan sana.

“Maaf aku banyak ceramah sepagi ini. Aku sudah capek cuma jadi pengamat tanpa melakukan apa pun. Selama ini aku bukan nggak peduli, tapi aku pengin liat kamu berdiri sendiri. Tapi sampai detik ini aku nggak melihat kamu melakukan itu. Jadi terpaksa aku melakukan semua ini. Termasuk bikin blog untukmu.”

Kenan kembali menyodorkan ponselnya. Perlahan-lahan dia mengajariku menggunakan situs tersebut. Blog itu diberi nama seperti yang kugunakan, Gulali. Dan aku membaca satu puisi yang sudah dia upload di sana, mungkin untuk mengawali.

“Mimpi Tak Semanis Gulali”       

Teruntuk mimpi yang terluka sebelum mekar

Semestinya ada penangkal yang mampu mengobati

Hingga nyawa yang tersisa tidak semakin terkuliti

Sebaliknya, merebaklah aroma wangi yang tak tertakar

 

Jadilah pemikat bagi tiap-tiap impian yang terluka

Menegakkan kaki-kaki yang patah oleh keputusasaan

Jadilah wangi yang menghangatkan hati

Suatu saat nanti mimpi yang dianggap menyimpan kepahitan

Akan lebih legit daripada manisnya Gulali

 

Kenan Pramugya, 11 februari 2021

 

Lagi-lagi aku meneteskan air mata. Kenan hanya tersenyum sambil merengkuh bahuku. Dia mengangguk berulang kali, lalu mengusap tetes air mata di pipi.

“Jangan pernah menghabisi nyawa yang sudah kamu kumpulkan sejak lama. Kamu layak memperjuangkannya, peluklah kembali nyawa itu, dan bawalah dia sampai kamu menjadi sosok yang banyak dikagumi dan menginspirasi.”

Aku semakin terguguk, lalu kurengkuh tubuhnya. “Terima kasih, Ken. Aku tahu apa yang harus kulakukan.”

*****

Suasana hatiku sudah lebih baik daripada sebelumnya. Setelah pulang dari taman, aku kembali membuka laci nakas dan mengeluarkan kain putih yang berisi segumpal nyawa yang kukeluarkan dari jiwa.

Aku menyentuhnya perlahan sambil meneteskan air mata.

“Oh, maafkan aku yang sudah meninggalkan dan bermaskud untuk membuangmu. Semestinya aku memperjuangkanmu dan tidak melakukan semua ini. Bagaimanapun juga akulah yang memilikimu, yang membangun dan memupukmu sedari kecil. Dan kamu tidak akan pernah tumbuh menjadi hal yang berguna jika aku tidak mau memperjuangkanmu.”

Aku tersenyum samar, lalu kudekap kain putih itu. Aku memejamkan mata untuk menyerap kembali segumpal nyawa yang pernah kuletakkan di dalamnya. Bayangan bibir merah Ibu yang tersenyum semakin menambah keberanianku. Kain ini menjadi salah satu keinginan Ibu, beliau mau aku menggunakannya di atas kepala suatu saat nanti. Sebagai mahkota, setelah aku berhasil mencapai semua impian yang kuinginkan.

Aku sudah kembali mengambil segumpal nyawa yang kutelantarkan. Kini aku kembali memperjuangkanya agar jiwaku tidak terasa hampa. Aku sadar, nyawa yang sempat kukeluarkan ini adalah keinginan terbesar dalam hidupku. Aku ingin menjadi seperti mereka, yang kukagumi dan menginspirasi. Kuharap nyawa ini tidak akan pernah redup dalam jiwaku, sebab aku sadar bila tanpanya di hatiku, langkah ini terasa sumbang, dan aku seperti kehilangan harapan untuk menjadi Gulali yang kucintai.

Meskipun mimpi tak semanis Gulali, namaku, tapi aku yakin mimpi itu akan lebih legit daripada yang kubayangkan selama ini.

 

 

Share with your friends

1 komentar

  1. Keyra Kenan kulihat saja banyak pohon cemara, hehe.. kiri kanan maksudku 🤣

    Seperti iklan mentos aja baiknya, ketika salah dibikin asik aja sekalian, Mikel Mikel, Michel hihi..

    Btw itu nyawanya dibungkus jilbab kah wkwk, tapi skrg sudah sukses kan jadi Master of Literation, widih 🤣

    Sungkem guru.. untung di taman ga ada anak mata pekat, kalau ada bahaya bisa2 gulali dimakannya, hehe..

    BalasHapus

Hi! Aku Keza Felice (Content Writer & Ghost Writer -- SEO Content) juga Penulis Novel. Terima kasih sudah mampir. Untuk Pemesanan Artikel atau kerja sama silakan kirim pesan ke Instagram @Keza236_queen atau email: Kezafelice@gmail.com. Sebagai pertimbangan silakan cek halaman About dan Achievement.

Notification
Selamat Datang di Blog Keza Queen.
Done