Yang udah penasaran dan nggak punya aplikasi Wattpad, bisa baca Bab 1 Novel ini sekarang juga! Baca sampai TUNTAS, ya!
****
Bersamamu
Senyum
Raven adalah pertanda baik. Bibir tipis dan kemerahan itu melengkung naik. Hal
itu yang Alifa suka walaupun jantungnya serasa berdentam setiap kali melihat
suaminya yang super ceking itu berseri-seri. Padahal, mereka sudah hidup
serumah lebih dari dua tahun.
Perempuan berkacamata bulat jumbo itu bergerak mendekat,
menggamit lengan Raven. “Sudah siap, Mas?” tanya Alifa, menatap suaminya.
Raven mengangguk. “Senyummu manis,” pujinya. “Oh iya, kamu
harus tunjukkan itu pada semua rekanku, supaya mereka tahu kalau kamu itu
memang bahagia bersamaku,” lanjutnya, sambil merangkul bahu Alifa.
Kaki Alifa goyah oleh haru, kebahagiaannya bertambah.
Tubuhnya yang semula terasa dingin tersapu oleh kehangatan dari tubuh Raven. Semua
pasti akan lancar seperti yang sudah mereka bayangkan.
“Yuk langsung berangkat! Lebih baik datang lebih awal
daripada membuat orang lain menunggu.” Raven memimpin langkah dengan tetap
bergandengan. Keduanya menuju mobil BMW berwarna hitam yang terparkir di
halaman.
Alifa mengangguk paham, rasa tersekat seolah-olah menyerap
kemampuan bicaranya. Dia hanya menurut ketika Raven buru-buru mengajak keluar.
Meskipun, sebenarnya dia ingin mengabadikan momen itu dengan berswafoto sebelum
berangkat. Sudahlah. Dia tidak ingin memikirkannya lagi. Terutama karena
suaminya itu memang seorang perfeksionis. Karena itu pula Alifa sudah siap
sejak setengah jam lalu untuk menghindari keterlambatan yang mungkin saja
terjadi.
Beberapa menit kemudian, mereka meninggalkan rumahnya di
Kompleks Arabika dan menuju tempat pertemuan, Barriecito Coffee Shop, yang
terletak tidak jauh dari rumah. Meskipun begitu, Raven tetap kukuh untuk
mengendarai mobil dibandingkan motor, dengan alasan yang masih sama: tidak
ingin istrinya terkena angin malam. Sangat tidak masalah selama semua itu
adalah untuk kebaikan. Alifa juga menyukainya, walaupun terkadang merasa itu
berlebihan.
Setelah sampai di Barriecito Coffee Shop, Raven kembali menggamit
lengan istrinya. Mereka berjalan pelan dengan sesekali membalas senyuman dari
orang-orang di sekitar yang menyapa. Dan gara-gara itu, sekarang wajah Alifa
jadi menghangat dan bersemu merah. Dia begitu gugup. “Mas, ini nggak apa-apa?
Banyak yang melihat ke arah kita,” tanyanya.
Raven spontan menjawil dagu Alifa. “Kamu itu istriku, kenapa
pakai tanya begitu segala, sih?” Raven balik bertanya. “Biarkan mereka melihat,
orang cantik memang cocok jadi pusat perhatian,” pujinya dengan rasa bangga
yang menggumpal dalam benaknya.
Menjadi tokoh publik itu memang selalu menjadi pusat
perhatian. Semua orang tahu itu, termasuk Alifa. Untuk itulah dia berusaha
tetap rileks agar tidak mempermalukan suaminya yang sedang naik daun. Meskipun,
sekarang jantungnya terasa berdegup lebih kencang. Dia masih sulit percaya jika
Raven bisa bersikap sangat manis.
Barriecito Coffee Shop tidak terlalu luas, tapi cukup untuk
menampung banyak orang yang ingin bersantai menikmati kafein. Bagian luar
ruangan terdapat tangga yang biasa digunakan orang-orang jika sekadar ingin
duduk tanpa meja dan menikmati pemandangan kota di malam hari. Ruangan dengan
pernak-pernik dari kayu itu juga memberi kesan natural, membuat siapa pun
merasa betah. Dan Raven mengajak Alifa duduk di bagian tengah ruangan. Dengan
begitu, teman-temannya nanti akan lebih mudah menemukan mereka.
“Jangan gugup, Sayang! Kamu tidak perlu tertekan, rileks!”
Raven menyentuh punggung tangan Alifa, menyalurkan rasa percaya diri melalui
usapannya. Senyum pada bibir Raven semakin mengembang, terlebih ketika wajah
teman-temannya telah terlihat.
“Halo, Iren, Aldi,” sambutnya ramah saat mereka tiba. “Silakan
duduk dulu! Mungkin Pak Danu dan Paul kena macet,” jelasnya langsung.
“Halo, Mas Raven dan Mbak ... siapa namanya? Aku lupa,” tanya
Iren—teman seprofesi Raven, dengan canggung.
“Oh iya, kenalkan ini istriku, Alifa Atabinda.” Raven
mengusap bahu Alifa dengan senyum yang masih sama.
“Alifa, Mbak,” tutur perempuan berponi miring itu tak kalah
canggung. “Nggak kena macet, kan, Mbak, Mas?” sambungnya.
“Beruntungnya, sih, nggak,” sahut Aldi.
“Mas, istrimu beneran manis loh!” puji Iren kepada Alifa. “Kok,
Mbak mau sih, nikah sama laki-laki ceking kayak Mas Raven gini?” lanjutnya
dengan gelak tawa.
“Namanya cinta, kan, nggak memandang fisik, Mbak,” jawab
Alifa sekenanya.
“Nah, denger, kan apa yang istriku bilang? Ya memang
beginilah kalau sudah cinta, makan sepiring berdua saja katanya kenyang. Tapi,
aku sih, nggak mau sampai itu terjadi.”
“Aku tahu loh alasannya kenapa ....”
“Memangnya kenapa, Ren?”
“Karena itu bukan romantis, tapi pelit!”
Kalimat Iren itu menciptakan suasana ceria. Mereka kembali
tertawa ketika mendengar banyolan itu, membuat kegugupan Alifa perlahan
berkurang. Sepertinya dia mulai merasa nyaman berada di tengah-tengah lingkaran
pertemanan suaminya.
“Hai Raven!”
Panggilan itu membuat sang empunya nama segera menoleh. “Wah,
Pak Danu, Paul, selamat datang,” sambut Raven ketika keduanya mendekat. Kemudian,
mereka saling berjabat tangan.
“Kalian terlambat!” seru Iren dan Aldi berbarengan.
“Maaf, tadi Paul mendadak mules dan minta berhenti di pom
dulu,” jawab lelaki berkepala plontos yang baru saja datang. “Loh, ini istrimu
yang sering kamu ceritakan itu, Ven?” Pak Danu manggut-manggut ketika mengamati
wajah Alifa yang memang tembam.
“Iya, Pak, nggak salah kan, apa yang saya bilang?”
“Iya, bener. Memang cantik!”
Sejak tiba di lokasi, degup jatung Alifa memang tidak bisa
normal. Suaminya selalu memberinya pujian di depan banyak orang.
“Weleh, Mas Raven memang pintar cari istri ternyata,
imut banget loh, iki Mbak Alifa, nggak kelihatan seperti perempuan yang
sudah bersuami,” sambung Paul dengan logat Jawa yang kental.
“Sssst! Jangan ngeledekin istriku terus dong, nanti dia malu.”
Raven menatap wajah Alifa yang sudah bersemu merah. Dia tahu
istrinya pasti tidak nyaman karena menjadi pusat perhatian. Mau bagaimana lagi,
hal seperti ini pasti akan terjadi juga sekarang atau pun nanti.
“Omong-omong, bagaimana acara Sharing Akbar minggu lalu, Mas? Aku dengar banyak ibu-ibu muda yang
turut hadir.”
“Itu bener, Ren. Setiap kali Raven yang jadi motivator, pasti
yang hadir bejibun. Keren banget, kan?” puji Pak Danu, bangga.
“Ah, nggak begitu juga, kok, Pak. Aku bisa jadi motivator
terkenal gini juga kan, karena Pak Danu yang sering promosikan aku.” Raven
berusaha untuk tetap merendah.
“Intinya, kalian semua itu hebat!” ucap Alifa sambil
memandang wajah suaminya yang berseri.
Obrolan-obrolan ngalor-ngidul itu terus mengalir. Alifa
juga sudah tidak secanggung sebelumnya. Namun, kekaguman perempuan tembam itu
masih sama seperti saat pertama datang. Dia tidak hentinya menatap sekeliling,
menyaksikan betapa ramainya tempat yang dia kunjungi. Banyak muda-mudi yang datang,
rata-rata berpasangan, dan Alifa senang melihat itu. Ditambah lagi, aroma
seduhan kopi begitu semerbak, menenangkan jiwa-jiwa yang gelisah. Kafein memang
pelarian terbaik saat tubuh mulai merasa lelah, atau sekadar menjadi teman
bersantai. Sayangnya, baru asyik-asyiknya ngobrol, waktu sudah menunjukkan
pukul 22.05 WIB. Mau tidak mau mereka harus segera berpisah.
Sebelum itu terjadi, Raven sudah lebih dulu berinisatif untuk
mengabadikan momen. Dia meminta salah satu pelayan yang melintas untuk
mengambil gambar kebersamaan mereka. Dalam foto itu, Raven berpose memeluk
pinggul istrinya yang kemudian berbalas hal yang serupa. Benar-benar sempurna.
Wajar saja jika banyak yang mengidolakannya. Tidak, lebih tepatnya,
mengidolakan Raven dan Alifa. Karena mulai malam itu mereka akan menjadi
pasangan idaman bagi setiap orang.
*************
“Aku senang akhirnya pertemuan tadi lancar,” ucap Raven
sambil melepas pakaian dan melemparnya ke segala arah.
“Ini piamamu, Mas.” Alifa mengulurkan satu setel piama kepada
Raven kemudian membereskan pakaian suaminya yang berserakan di latai.
“Terima kasih karena nggak bikin aku malu. Ternyata sekarang
kamu sudah lebih siap untuk diajak ke pertemuan-pertemuanku selanjutnya. Tapi
sebelum itu, kamu perlu ubah dikit penampilanmu deh, Lif! Jangan pakai
kacamata, bisa?”
Mendengar permintaan itu batin Alifa terasa getir. Dia sampai
menggigit bibir bawahnya dengan kuat dan baru menyadari ketika lidahnya
mencecap rasa manis bercampur asin, bibirnya berdarah. “Em, aku usahakan, ya,
Mas,” jawabnya terbata-bata.
Raven sudah kembali seperti sebelumnya. Sekarang, berada satu
ruangan bersama lelaki super ceking itu membuat dada Alifa terasa pengap, dan
dia lebih gugup dibandingkan saat pertemuan tadi. Padahal, baru saja dia merasa
melayang gara-gara beberapa jam yang lalu Raven bersikap sangat romantis.
Namun, pada kenyataannya semua itu lenyap seketika setelah mereka menginjakkan
kaki pada bangunan bercat kuning mustard yang minimalis itu.
“Lif, jangan lupa periksa kamar adikmu itu, sudah tidur atau
belum. Kamu ini, kan, kakaknya. Jangan sampai Ayah mikir kamu nggak becus
ngurus keluarga!” Nada bicara Raven mulai naik satu oktaf.
“Baiklah, Mas. Aku ke kamar Nevana dulu. Kamu tidurlah! Nanti
aku menyusul,” jawabnya mengalah, sambil berlalu keluar.
“Buruan! Jangan lelet, aku nggak suka!” teriaknya, mengiringi
langkah Alifa yang mulai menjauh.
Malam sudah bercengkerama dengan udara dingin. Namun, embusan
angin yang dingin itu masih kalah dibandingkan dengan sikap Raven yang barusan.
Yang sangat disayangkan, Alifa tidak bisa melakukan protes. Mau tidak mau, dia
harus menerima perlakuan suaminya. Mungkin memang begitulah Tuhan menuliskan
takdirnya. Dia hanya bisa mengandalkan keberuntungan, barangkali Tuhan tidak
terlalu lama tinggal diam dengan apa yang sedang terjadi.
Pada awalnya Alifa memang mengira sikap Raven dipengaruhi
oleh tuntutan pekerjaan. Lambat laun semua hipotesa itu terkikis habis.
Lelah atau tidak, sikap Raven akan selalu sama. Sialnya, perempuan tembam itu
tidak pernah berani menolak apa pun permintaan suaminya. Termasuk untuk
memeriksa keadaan Nevana setiap malam. Bahkan, sampai sekarang pun Alifa masih
tidak mengerti mengapa dia harus melakukannya. Padahal, Nevana bukan lagi
seorang bocah.
B.E.R.S.A.M.B.U.N.G
Ikuti update Spesial Order berlimpah bonus di akun instagram @Keza236_queen
Atau baca cerita lanjutan hanya di sini: Lengkap (Ada Hati yang Terluka)